22 Agustus 2009

KECERDASAN INTELEKTUAL

OLEH
Steofandi FIzari,C.S.Pd.I

PENDAHULUAN

Membangun spiritualisme adalah usaha melakukan refreshing mental atau ruhani berupa keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman atau tuntunan. Membangun spritualisme dapat dilakukan dengan berbagai media. Salah satunya adalah yang membangun spiritualitas yang bersumber dari agama atau reliji, yang dinamakan spritualisme religius. Adalah merupakan kewajiban bagi umat beragama untuk mengembangkan, menguatkan atau membangun kembali peran spritualitas religius. Spritualitas religius yang pada dasarnya merupakan bentuk spritualitas yang bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah, dan abadi dibandingkan spritualitas sekuler dengan berbagai coraknya. Membangun spritualitas religius dengan demikian merupakan kebutuhan untuk diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat modern.
Dalam membangun spiritualitas tersebut kita membutuhkan Spiritual Quatient (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lainnya. Melalui penggunaan Kecerdasan Spiritualitas religius kita lebih terlatih dan melalui kejujuran serta amanah dalam menjalani kehidupan, orang yang bertaqwa menurut Tasmara adalah orang yang bertanggung jawab, memegang amanah dan penuh rasa cinta. Selain itu pada diri orang yang bertaqwa juga terdapat ciri : memiliki visi dan misi, merasakan kehadiran Allah Swt, berzikir dan berdoa, sabar, cenderung kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, dan bersifat melayani.

A. Pengertian Spiritual Quotient (SQ)
Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasian “spirit” dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian). Sedangkan kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami sesuatu. Spiritual Quotient adalah kesadaran tentang gambaran besar atau gambaran menyeluruh tentang diri seseorang dan jagat raya (Imam Supriyono, 2006: 75).
Menurut Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (Spiritual Quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’.
Menurut Khalil Khavari Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Dan Marsha Sinetar mendefinisikan “Kecerdasan Spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian”.
Menurut Ary Ginanjar Kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa Kecerdasan Spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas.
Buzan menyebutkan ada sepuluh konsep dasar yang menjadi tingginya spiritual quotient yakni: mendapatkan gambaran menyeluruh, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih (memahami diri sendiri dan orang lain), memberi dan menerima, kemurahan hati dan rasa syukur, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan spritual, ketentraman, dan yang anda butuhkan hanyalah cinta. (Imam Supriyono, 2006: 77)
Selanjutnya Danah Zohar menyatakan Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan Agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan Spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang mempunyai SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Dan Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Jadi Kecerdasan Spiritual menurut penulis adalah “ kecerdasan atau kemampuan untuk memahami Tuhan, karakter internal diri (konsep diri), lingkungan yang memberikan nilai atau makna dalam hidup dalam setiap gerak-geriknya”.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (SQ)
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan Kecerdasan Spiritual antara lain sumber kecerdasan itu sendiri (God-spot), potensi qalbu (hati nurani) dan kehendak nafsu. Sedangkan secara umum ada dua faktor utama yang mempengaruhi kecerdasan yaitu; faktor genetik atau bawaan dan faktor lingkungan yaitu lingkungan rumah, kecukupan nutrisi, interfensi dini dan pendidikan di sekolah.
Menurut Roberts A. Emmons, ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual
(1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
(2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
(4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah;
(5) dan kemampuan untuk berbuat baik
Upaya orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam keluarga adalah melalui empat jalan tugas yakni, “melalui jalan pengasuhan, pengetahuan, perubahan pribadi, persaudaraan dan jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian”

C. Ciri-ciri Spiritual Quotient (SQ) Tinggi
Bahwasanya orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Menurut Zohar dan Marshall memberikan gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu :
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran yang tinggi
3. Kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya: “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar
9. Pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab.
Dari pernyataan di atas kemudian Drs. Subandi, MA menambahkan Ciri-ciri tersebut beberapa kriteria antara lain:
1. Kemampuan menghayati keberadaan Tuhan.
2. Memahami diri secara utuh dalam dimensi ruang dan waktu
3. Memahami hakekat di balik realitas
4. Menemukan hakikat diri
5. Tidak terkungkung egosentrisme.
6. Memiliki rasa cinta
7. Memiliki kepekaan batin
8. Mencapai pengalaman spiritual: kesatuan segala wujud, mengalami
realitas non-material (dunia gaib)
SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif oleh karena itu SQ adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Hal ini secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kemampuan manusia mentransendensikan diri: “transendensi merupakan kualitas tertinggi dari kehidupan spiritual. Menurut Zohar dan Marshall transendensi adalah sesuatu yang membawa manusia “mengatasi” (beyond) – mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan rasa duka, bahkan mengatasi diri kita pada saat ini.
Ia membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman kita, serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman kita ke dalam konteks yang lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan sesuatu yang luar biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam maupun diluar diri kita.
D. Cerdas Spiritual Menurut Islam
Kecerdasan Spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru. Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan Spiritual (SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia. Bahwa manusia mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat sebagai berikut:
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Q.S.al-Hijr/15:29)
Dalam sebuah hadis:
“Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati, sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. (Riwayat Ahmad)
Menurut Hadist ini, kecerdasan seseorang dapat diukur dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual). Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa setiap amalan di dunia sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Keyakinan tentang keabadian, menjadikannya lebih berhati-hati dalam menapaki kehidupan di dunia ini, sebab mereka percaya bahwa kehidupan ini tidak sekali di dunia ini saja, tapi ada kehidupan yang lebih hakiki. Dunia adalah tempat menanam, sedangkan akhirat adalah tempat memanen. Siapa yang menanam padi akan menuai padi. Siapa yang menanam angin akan menuai badai.
Tidak hanya bersikap hati-hati, orang yang cerdas spiritualnya lebih bersemangat, lebih percaya diri dan lebih optimis. Mereka tidak pernah ragu-ragu berbuat baik, sebab jika kebaikannya tidak bisa dinikmati saat di dunia mereka masih bisa berharap mendapatkan balasannya di akhirat nanti. Jika tidak bisa dinikmati sekarang, amal kebaikan itu akan berubah menjadi tabungan atau deposito secara otomatis yang kelak akan dicairkan justru pada saat mereka sangat membutuhkan di alam keidupan sesudah mati.
Ciri orang yang cerdas sebenarnya telah tampak jelas dalam derap langkahnya, ketika mereka membuat rencana, saat mengeksekusi rencananya dan pada saat melakukan evaluasi. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat sendirian atau dalam interaksi sosialnya nampak wajahnya yang senantiasa bercahaya, memancarkan energi positif, menjadi magnet power, penuh motivasi, menjadi sumber inspirasi, dan berfikir serta bertindak positif. Mereka akan bersikap baik dan benar baik ketika ditengah keramaian maupun disaat sendirian karena dimanapun dia berada merasa dilihat oleh Allah. Orang seperti ini mempunyai integritas (selaras antara kata dan perbuatannya).
Orang yang cerdas emosi dan spiritual enak diajak bergaul, karena mereka telah terbebas dari su’udzon (buruk sangka, hasad (iri atau dengki) dan takabur (menyombongkan diri). Orang-orang inilah yang memiliki potensi untuk meraih sukses di dunia sekaligus sukses menikmati kehidupan surgawi di akhirat nanti.
Mengacu kepada paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap SQ. Tinggal lagi bagaimana manusia memelihara SQ-nya agar dapat berfungsi optimal.


KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Spiritual merupakan pelengkap dari kecerdasan lainnya. Sebab Kecerdasan Spiritual sebagai pengendali sikap seseorang dalam melakukan berbagai kegiatan. Sehingga apa yang ia lakukan itu mempunyai makna buat dirinya maupun lingkungan tempat dia tinggal. Perkembangan Kecerdasan Spiritual ini juga dipengaruhi oleh beberapa antaranya faktor utama kecerdasan yaitu; faktor genetik atau bawaan dan faktor lingkungan. Bahwasanya orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual
Bahwa dalam islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Kecerdasan Spiritual (SQ). Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan mempersiapkan amal buat sesudah mati. Oleh karena itu, bagi kita yang lebih menekankan IQ atau EQ maka itu belumlah cukup maka untuk menyeimbangkan keduanya diperlukannya nilai spiritual (SQ) agar setiap gerak-gerik kita mengandung makna atau nilai positif bagi diri pribadi, lingkungan, maupun orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Supriyono, Imam. 2006. FSQ,Memahami, Mengukur, Dan Melenjitkan Financial Spiritual Quotient Untuk Keunggulan Diri, Perusahaan & Masyarakat. Surabaya: Lutfansh
http://armanbelajar.multiply.com/reviews/item/14, diakses tanggal 5 Mei 2009
http://grahacendikia.wordpress.com/2009/03/14/b002-peranan-orang-tua-dalam-membina-kecerdasan-spiritual-anak-dalam-keluarga/ diakses tanggal 5 Mei 2009
http://hanifa93.wordpress.com/2009/01/04/cerdas-spiritual-menurut-islam/diakses tanggal 5 Mei 2009
http://ijabiyogya.tripod.com/subandi.htm, diakses tanggal 5 Mei 2009
http://sulaiman.blogdetik.com/category/spiritual/ diakses tanggal 5 Mei 2009
http://www.e-psikologi.com/epsi/industri_detail.asp?id=212,diakses tanggal 5Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar